Pak Ustadz, Bagaimana Hukumnya Jika Mengalami Keputihan Apakah Boleh Sholat? Begini Penjelasannya
03:34
Redaksi Baca – Muslimah dilarang untuk menunaikan sholat
sewaktu sedang mengalami haid. Nah, tak sedikit pula wanita yang juga
mengalami keputihan, lalu apakah keputihan itu hukumnya sama seperti Haid dan
tak boleh melaksanakan sholat?
Keputihan (ifrazat) adalah lendir yang umumnya bening,
keluar dari organ reproduksi wanita, namun bukan madzi dan mani. Baik karena
syahwat maupun ketika aktivitas normal.
Baik yang bersifat normal maupun karena penyakit. Para ulama
menjelaskan hukum keputihan (ifrazat) sebagaimana ruthubah (lendir yang selalu
membasahi organ reproduksi wanita). Ada dua kajian yang akan kita bahas untuk
masalah keputihan bagi wanita,
Cairan keputihan, apakah termasuk benda najis ataukah bukan?
Apakah keluar keputihan menyebabkan batalnya wudhu hingga tak diperbolehkan
sholat?
Ulama berbeda pendapat apakah keputihan itu najis ataukah
suci,
Pertama, keputihan
statusnya najis.
Ini pendapat Imam as-Syafii menurut salah satu keterangan,
as-Saerozi; ulama madzhab Syafiiyah, al-Qodhi Abu Ya’la; ulama madzhab hambali,
dan beberapa ulama lainnya.
Kedua, keputihan
termasuk cairan suci.
Ini pendapat hanafiyah, pendapat imam as-Syafii menurut
keterangan yang lain, al-Baghawi, ar-Rafii; ulama madzhab Syafiiyah, dan Ibnu
Qudamah; ulama madzhab hambali.
Ibnu Qudamah – ulama madzhab hambali – menjelaskan,
وفي رطوبة فرج
المرأة
احتمالان
: أحدهما
, أنه
نجس
; لأنه
في
الفرج
لا
يخلق
منه
الولد
, أشبه
المذي
. والثاني
: طهارته
; لأن
عائشة
كانت
تفرك
المني
من
ثوب
رسول
الله
صلى
الله
عليه
وسلم
وهو
من
جماع
, فإنه
ما
احتلم
نبي
قط
, وهو
يلاقي
رطوبة
الفرج
, ولأننا
لو
حكمنا
بنجاسة
فرج
المرأة
, لحكمنا
بنجاسة
منيها
; لأنه
يخرج
من
فرجها
, فيتنجس
برطوبته
. وقال
القاضي
: ما
أصاب
منه
في
حال
الجماع
فهو
نجس
; لأنه
لا
يسلم
من
المذي
, وهو
نجس
. ولا
يصح
التعليل
, فإن
الشهوة
إذا
اشتدت
خرج
المني
دون
المذي
, كحال
الاحتلام
“Dalam permasalahan keputihan yang keluar dari organ repr0duksi
wanita, ada dua pendapat,
[1] keputihan statusnya najis karena berasal dari kemalvan
yang bukan unsur terciptanya seorang anak. Sebagaimana madzi.
[2] keputihan statusnya suci. Karena ‘Aisyah pernah mengerik
man1 dari baju Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bekas jima’. Mengingat
tidak ada seorang nabi pun yang mengalami mimpi basah. Sehingga makna air man1
tersebut adalah cairan yang bercampur dengan cairan basah farji istri beliau.
Karena jika kita menghukumi keputihan sebagai benda najis, seharusnya kita juga
berpendapat najisnya man1 wanita. Mengingat man1 wanita juga keluar dari
kemalvanya, sehingga bisa menjadi najis karena ada keputihan di leher rah1m.
Keterangan dari Imam an-Nawawi – ulama syafiiyah –,
رطوبة الفرج ماء
أبيض
متردد
بين
المذي
والعرق
, فلهذا
اختلف
فيها
ثم
إن
المصنف
رحمه
الله
رجح
هنا
وفي
التنبيه
النجاسة
, ورجحه
أيضا
البندنيجي
وقال
البغوي
والرافعي
وغيرهما
: الأصح
: الطهارة،
وقال
صاحب
الحاوي
في
باب
ما
يوجب
الغسل
: نص
الشافعي
رحمه
الله
في
بعض
كتبه
على
طهارة
رطوبة
الفرج
Keputihan yang keluar dari farji bentuknya cairan putih.
Diperselisihkan sifatnya, antara disamakan dengan madzi dan al-irq (cairan
kemaluan). Karena itu, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Kemudian,
penulis (as-Saerozi) dalam kitab al-Muhadzab ini dan kitab at-Tahbih, keputihan
hukumnya najis. Ini juga pendapat yang dipilih al-Bandaniji. Sementara
al-Baghawi dan ar-Rafii serta yang lainnya berpendapat bahwa yang benar adalah
suci.
Penulis kitab al-Hawi mengatakan, ‘Imam as-Syafii menegaskan
dalam sebagian kitab-kitabnya bahwa keputihan wanita statusnya suci.’
(al-Majmu’, 2/570).
Antara Hadis Aisyah dan Hadis Utsman radhiyallahu ‘anhuma
Mengapa ini dikhususkan, karena dua hadis ini yang menjadi
titik tolak pembahasan.
Pertama, hadis
A’isyah radhiyallahu ‘anha, tentang air mani yang menempel di baju Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kata A’isyah,
كُنْتُ أَفْرُكُهُ
مِنْ
ثَوْبِ
رَسُولِ
اللهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Aku mengerik mani itu
dari baju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (HR. Muslim 288, Nasai 296,
dan yang lainnya).
Yang dipahami dari hadis ini (sebagaimana keterangan Ibnu
Qudamah di atas),
Man1 yang ada di baju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah bekas hubungan b4dan, dan bukan man1 mimpi basah. Karena para nabi tidak
mengalami mimpi basah.
Karena man1 itu bekas dari hubvngan badan, bisa dipastikan
cairan yang nempel di situ bercampur dengan cairan yang ada di farji wanita.
A’isyah radhiyallahu ‘anha mengeriknya, dan yang namanya
mengerik bisa dipastikan tidak akan bersih sempurna.
Kedua, hadis
Ustman bin Affan
Dulu, orang yang melakukan hvbungan badan, namun tidak
sampai keluar man1, tidak diwajibkan mandi junub. Namun cukup berwudhu.
Zaid bin Khalid pernah bertanya kepada Utsman bin Affan,
‘Apa hukumnya orang yang berhubungan, tapi tidak keluar mani?’ jawab Utsman,
يَتَوَضَّأُ كَمَا
يَتَوَضَّأُ
لِلصَّلاَةِ
وَيَغْسِلُ
ذَكَرَهُ؛
قَالَ
عُثْمَانُ
سَمِعْتُهُ
مِنْ
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
“Dia berwudhu dengan
sempurna dan dia cuci kemaluannya.” Kata Utsman, ‘Aku dengar dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ (HR. Bukhari 179 dan Muslim 347).
Yang dipahami dari hadis ini,
Orang yang berhubungan dan tidak 0rgasme, dia tidak wajib
mandi, tapi cukup wudhu. Dan hukum ini telah dinasakh (dihapus) dengan hadis
Abu Hurairah yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
Adanya perintah mencuci kemalvan sehabis hubungan meskipun
tidak keluar man1. Artinya itu perintah membersihkan cairan yang menempel di kemalvan
karena hubungan badan.
Perintah mencuci kemalvan di situ tidak mansukh, hukumnya
tetap berlaku.
Ulama yang berpendapat bahwa keputihan tidak najis, mereka
berdalil dengan hadis A’isyah radhiyallahu ‘anha.
Sementara ulama yang menilai najis berdalil dengan hadis
Utsman.
Dan jika kita perhatikan, masing-masing dalil tidaklah tegas
menunjukkan demikian. Karena masing-masing pendapat menyimpulkan hadis di atas
berdasarkan makna, yang tidak tercantum dalam teksnya.
Kemudian, Syaikh Musthofa al-Adawi – dai dari Mesir –,
setelah membawakan perselisihan pendapat ulama dalam masalah ini, beliau
mengatakan,
وبإمعان النظر
فيما
سبق؛
يتضح
أنه
لم
يرد
دليل
صريح
على
أن
رطوبة
فرج
المرأة
نجسة.
وأما
ما
أورده
البخاري
من
حديث
وفيه:
يتوضأ
كما
يتوضأ
للصلاة
ويغسل
ذكره؛
فليس
بصريح
في
أن
غسل
الذكر
إنما
هو
من
رطوبة
فرج
المرأة،
ولكن
محتمل
أن
يكون
للمذي
الذي
خرج
منه
كما
أمر
النبي
صلى
الله
عليه
وسلم
المقداد
لما
سأله
عن
المذي؛
فقال:
توضأ
واغسل
ذكرك
Dengan melihat lebih mendalam terhadap keterangan di atas,
dapat disimpulkan bahwa tidak ada dalil tegas yang menunjukkan bahwa keputihan
wanita hukumnya najis. Sementara hadis yang dibawakan Bukhari, yang ada
pernyataan, “Dia harus berwudhu sempurna dan mencuci kemaluannya..” tidaklah
menunjukkan dengan tegas bahwa mencuci kemalvan dalam kasus itu, disebabkan
keputihan wanita. Namun bisa juga dipahami karena madzi. Sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan al-Miqdad ketika dia bertanya
tentang madzi, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Dia harus berwudhu
dan mencuci kemalvannya.’
Kemudian beliau menyimpulkan,
فعلى ذلك تبقى
رطوبة
فرج
المرأة
على
الطهارة
Oleh karena itu, keputihan yang ada di organ reproduksi
wanita, statusnya suci. (Jami’ Ahkam an-Nisa, 1/66).
Disamping itu, cairan keputihan yang keluar dari organ repr0duksi
wanita, adalah hal yang wajar terjadi di masa silam.
Meskipun demikian, kita tidak menjumpai adanya riwayat dari para
sahabat wanita (shahabiyat) yang menanyakan hal itu kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Padahal umumnya mereka hanya memiliki satu pakaian. Jika ini
najis, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkannya.
Demikianlah ulasan yang dapat kami sampaikan pada kesempatan
ini, semoga dapat menambah ilmu dan memberi manfaat..
Wallahu a’lam.
sumber : www.wajibbaca.com