Banyak yang Belum Tahu, Inilah Makna Sakral dari Pernikahan didalam Islam
01:32
Redaksi Baca - Pernikahan adalah momen yang
begitu didambakan setiap insan. Sebab pernikahan membuat kehidupan terasa menjadi
lengkap, namun sebelum itu ada baiknya bila kita mengetahui makna serta tujuan dari
pernikahan dari pandangan Islam.
Akad pernikahan merupakan ikatan yang kuat
yang amat sulit untuk diputuskan. Karena, pernikahan dalam islam bukanlah hal
yang main-main. Menikah memiliki makna yang lebih dalam. Pernikahan bukan hanya
soal mempersatukan dua hati, tujuan utama menikah itu sendiri yang akan kita
bahas berikut ini.
Makna
Pernikahan Dalam Islam Wajib Diketahui. Salah satu tujuan menikah yaitu untuk
mendapatkan keturunan, tetapi kita juga harus tahu terlebih dahulu makna
pernikahan dalam islam. Perkawinan atau pernikahan dalam islam merupakan ajaran
yang berdasar pada dalil-dalil naqli. Seperti terlihat dalam dalil Al Qur'an
dan As Sunnah. Inilah makna dan tujuan pernikahan dalam islam.
MAKNA DAN TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM
Pengertian Pernikahan
Secara
Bahasa Nikah berasal dari kata نَكَحَ – يَنْكِحُ
– نِكَاحًا yang berarti الدَحْم
(mengawini) atau الخَجأ (menggauli).
Hal ini sesuai dengan firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-,
الزاني لا ينكح إلا زانية أَو مشركة والزانية
لا ينكحها إِلا زانٍ أَو مشرك
“Laki-laki yang berzina tidak menikah
melainkan dengan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik, dan
perempuan yang berzina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik…“
Ada juga
yang mengatakan bahwa nikah secara bahasa bermakna الضم (menggabungkan) dan الجمع
(mengumpulkan/menghimpun). Dikatakan pula artinya التداخل (saling
memasuki/mencampuri) sebagaimana dalam kalimat تناكحت الأشجار (mengawinkan
tumbuhan) apabila saling tarik menarik dan saling bergabung antara satu jenis
tumbuhan dengan lainya.
Adapun
al-Azhari mengatakan bahwa pada asalnya nikah dalam perkataan Arab bermakna الوطء
(al-wath’u) yakni bersetubuh/berhubungan intim. Dikatakan pula bahwa nikah
bermakna التزويج yakni perkawinan yang menjadi sebab diperbolehkannya
berhubungan intim dengan cara yang halal.
Atau
sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Faarisi dan Muhammad bin Shalih
al-‘Utsaimin –rahimahullaahu ta’ala– bahwa nikah secara bahasa mengandung dua
pengertian, yaitu akad dan jima’ (bersetubuh). Apabila dikatakan nakaha binta
fulaanin, maksudnya melakukan akad nikah dengan wanita si fulan.
Namun jika
dikatakan, nakaha zaujatahu, maka maksudnya al-wath’u (menyetubuhinya). Jadi
kedua makna tersebut memiliki kesamaan arti tergantung kata yang disandarkan
kepadanya. Jika kata nikah disandarkan kepada wanita asing, maka maksudnya
adalah akad. Adapun jika disandarkan kepada hal yang mubah (diperbolehkan),
maka maksudnya adalah jima’ (bersetubuh).
Adapun
pengertian nikah secara istilah, maka ulama mengemukakan berbagai pendapat
mengenai hal ini. Namun pada dasarnya seluruh pengertian tersebut mengandung
esensi yang sama meskipun redaksionalnya berbeda. Perbedaan tersebut tidaklah
memperlihatkan adanya pertentangan akan makna yang terkandung dalam pernikahan
tersebut.
Muhammad bin
Shalih al-‘Utsaimin –rahimahullaahu ta’ala– menjelaskan bahwa pengertian nikah
menurut syar’i berarti melaksanakan akad dengan seorang wanita dengan maksud
untuk mendapatkan kenikmatan dengannya dan mendapatkan anak (keturunan) serta
manfaat-manfaat yang lain yang ada berhubungan dengan berbagai kemaslahatan
dilaksanakan nikah.
Adapun Ibnu
Qudamah –rahimahullaahu ta’ala– mengatakan bahwa nikah menurut istilah syar’i
adalah suatu akad perkawinan dan lafadz nikah secara mutlak mengandung
pengertian tersebut selama tidak ada dalil yang merubahnya. Al-Qadhi berkata
tentang adanya keserupaan dalam hakekat secara menyeluruh antara akad dan
hubungan intim, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah –subhaanahu wa
ta’ala-,
وَلاَ تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
yang telah dinikahi oleh ayahmu.”
Disebutkan
dalam al-Majmuu’ Syarhu al-Muhadzdzab, bahwa nikah dalam istilah syar’i berarti
suatu akad (sebuah ikatan) yang menjadikan sebab diperbolehkannya berhubungan
intim dengan menggunakan lafadz nikah atau kawin. Adapun dalam masalah akad ini
terdapat banyak dalil, baik dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Bahkan ada yang
mengatakan bahwa kata nikah dalam al-Qur’an tidak ada maksud lain kecuali akad.
Kecuali yang tercantum dalam firman Allah –subhaanahu wa ta’ala-,
حَتَّىَ تَنكِحَ زَوْجاً غَيْرَهُ
“…hingga dia nikah dengan suami yang lain.“
Karena jika
kata nikah dalam ayat ini dimaknai dengan makna selain al-wath’u (bersetubuh),
maka akan dikatakan sebagai perzinaan, bukan pernikahan.
Dalam
mendefinisikan makna nikah ini, maka ulama terbagi menjadi tiga, yakni:
·
Pada hakekatnya nikah adalah sebuah akad, adapun
berhubungan intim sifatnya majazi. Sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah.
·
Pada hakekatnya maksud dari nikah adalah
berhubungan intim. Adapun akad sifatnya majazi. Ini merupakan pendapat kalangan
Syafi’iyah dan perkataan Abu Hanifah. Dan pengertian ini lebih dekat kepada
pengertian secara bahasa. Adapun pendapat yang pertama lebih dekat kepada
pengertian secara syar’i. Imam az-Zamakhsyari mengatakan, “Tidak ada maksud
lain dari nikah dalam al-Qur’an selain makna akad karena makna watha’
(bersetubuh) hanya sebagai penjelas. Adapun jika ingin menggunakan lafadz
kinayah (kiasan), maka dapat menggunakan kata al-mulaamasah atau al-mumaasah
(saling bersentuhan).”
·
Pada hakekatnya maksud dari nikah adalah kedua
pengertian di atas. Dan pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Hajar –rahimahullaahu
ta’ala-, walaupun kata yang banyak dipakai adalah kata akad.
Tujuan Pernikahan
Manusia
sebagai makhluk sosial tidak mungkin dapat hidup sendiri. Ia pasti membutuhkan
orang lain untuk berkomunikasi, melaksanakan tugas dan memenuhi segala
kebutuhanya. Selain itu manusia juga dikaruniai nafsu berupa kecenderungan
tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu
bentuk ciptaan yang ada pada diri manusia, sebagai urgensi kelangsungan
hidupnya. Seperti makan, minum dan menikah.
Lebih
spesifik, Islam adalah agama kehidupan yang menghargai insting biologis
(seks) yang merupakan bagian penting
dari kehidupan ini. Sudah menjadi sunatullah, bahwa Islam mampu menangani semua
itu secara seimbang, menarik dan obyektif, selama manusia masih menganggap perkawinan
merupakan elemen penting dalam kehidupan ini.
Syari’at
yang ditentukan Islam mengajak pasangan suami-istri untuk selalu berusaha
menemukan kebaikan, keteguhan dan perjuangan pasangannya disamping hanya
sekedar kenikmatan berhubungan badan.
Maka
Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- memberikan anjuran kepada para
pemuda yang belum menikah agar segera menikah, karena begitu besarnya faedah
dan tujuan yang ada padanya. Diantaranya faedah dan tujuan yang utama adalah:
1.
Menjalankan perintah Allah –subhaanahu wa ta’ala-, sebagaimana hal ini tertuang
dalam firman-Nya:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ
مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَاء يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ.
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian
diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu
yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah
akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.“
2. Meneladani
Sunnah Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- .
Sebagaimana
dikisahkan dalam hadits bahwa suatu ketika Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- didatangi
oleh tiga orang. Yang pertama mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shalat
malam secara terus menerus, yang kedua
mengatakan bahwa dirinya akan melaksanakan shaum sepanjang masa (shaum Dhahr).
Adapun yang
ketiga mengatakan bahwa dirinya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah
untuk selama-lamanya. Maka seketika itu, Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- marah dan
mengatakan bahwa barangsiapa yang membenci sunnah beliau -shallalaahu ‘alahi wa
sallaam- , maka ia bukan dari golongan beliau.
3. Agar
orang yang beriman mengetahui kenikmatan di dunia berupa berhubungan badan dan membandingkannya
dengan kenikmatan di akhirat nanti.
Dengan
mengetahui nikmat yang telah Allah –subhaanahu wa ta’ala- anugerahkan kepada
seorang yang beriman, berupa kenikmatan berhubungan badan, maka seorang yang
beriman akan membandingkannya dengan kenikmatan yang akan diperoleh orang-orang
yang senantiasa taat terhadap perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala
larangan-Nya, yang akan Allah berikan pada kehidupan yang kekal di Surga.
Kenikmatan
yang berlipat ganda yang belum pernah seorangpun merasakannya. Sehingga hal itu
akan menambah keimanan dan ketakwaan seseorang kepada Allah –subhaanahu wa
ta’ala-.
Seperti
disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas RA, bahwa
Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa
sallaam- bersabda,
يُعْطَى الْمُؤْمِنُ فِي الْجَنَّةِ قُوَّةَ كَذَا
وَكَذَا مِنْ الْجِمَاعِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَ يُطِيقُ ذَلِكَ قَالَ يُعْطَى
قُوَّةَ مِائَةٍ
“Orang beriman kelak di Surga diberi
kekuatan bersetubuh sekain dan sekian.” Ada shahabat yang bertanya, “Wahai
Rasulullah apakah mampu seperti itu?“ Beliau menjawab, “Mereka diberi kekuatan
jima’ sampai seratus kali lipat. “
4.
Menciptakan ketenangan jiwa dan rasa kasih sayang antara suami-isteri.
Allah SWT
berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ
أَزْوَاجاً لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ.
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tentram kepadanya dan Dia jadikan di antaramu rasa kasih
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir. “
5.
Melestarikan keturunan, dan mendapatkan generasi yang shalih yang siap berjuang
di jalan Allah –subhaanahu wa ta’ala- demi menegakkan kalimatullah di muka bumi
ini.
Suatu hal
yang lebih urgen pada pernikahan bukan hanya sekedar untuk memperoleh anak,
akan tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu
mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah SWT yang siap mengemban
dakwah dan berjihad di jalan-Nya demi menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.
Generasi seperti inilah yang sangat diharapkan kelahirannya di muka bumi ini
oleh Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- .
Dikisahkan
dalam hadits, bahwa suatu ketika Sulaiman bin Daud AS berkata, “Sungguh pada
malam hari ini aku akan menggilir seratus isteri (atau dikatakan, sembilan
puluh sembilan). Setiap dari mereka akan melahirkan para penunggang kuda yang
siap berjuang di jalan Allah.” Maka shahabatnya berkata kepadanya, “Ucapkanlah
insyaAllah (jika Allah menghendaki).” (Akan tetapi) dia lupa untuk mengucapkan
insyaAllah, maka tidak ada seorangpun dari isterinya yang hamil melainkan hanya
satu saja yang kemudian melahirkan separuh orang. Maka Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
“Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, seandainya dia (Sulaiman)
mengucapkan insyaAllah, sungguh (anak-anaknya) akan menjadi penunggang kuda
yang siap berjihad di jalan Allah.”
Keturunan
yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar.
Oleh karena itu suami-istri bertanggung jawab dalam mendidik, mengajarkan, dan
mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar yang diridhai oleh Allah
–subhaanahu wa ta’ala-. Maka Rasulullah SAW menganjurkan kepada seorang muslim
agar menikah dengan wanita yang memiliki rasa sayang, baik kepada suaminya
ataupun kepada anaknya disamping harus subur (yang mampu melahirkan banyak
anak).
Beliau -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
تَزَوَّجُوا الْوَدُودَ الْوَلُودَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ
بِكُمْ الْأُمَمَ.
“Nikahilah wanita yang subur dan penyayang.
Sesungguhnya aku bangga dengan banyaknya umatku (pada hari kiamat).”
6. Menjaga
kemaluan, menundukkan pandangan dan memelihara kehormatan wanita.
Islam
memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk
memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari
kekacauan. Rasulullah -shallalaahu
‘alahi wa sallaam- bersabda yang artinya:
“Wahai para
pemuda! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah,
karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji
(kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum, karena
shaum itu dapat membentengi dirinya.“
Rasulullah
SAW juga bersabda bahwa sesuatu yang banyak menyebabkan manusia tergelincir ke
dalam neraka, adalah mulut dan kemaluan.
7. Meredam
syahwat dan menyalurkannya kepada sesuatu yang halal demi mengharapkan pahala
dan ridha Allah –subhaanahu wa ta’ala-.
Rasulullah -shallalaahu ‘alahi wa sallaam- bersabda,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا
رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ
أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ
إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا.
“Dan hubungan badan diantara kalian adalah
shadaqah.“ Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah mengapa seseorang yang
menyalurkan syahwatnya mendapatkan pahala?” Beliau bersabda, “Tidakkah kalian
ketahui, jika ia menyalurkannya pada sesuatu yang haram, maka ia akan
mendapatkan dosa? Adapun jika ia menyalurkanya pada yang sesuatu yang halal,
maka ia akan mendapatkan pahala.“
8. Mencegah
tersebarnya perzinaan dan penyakit menular di kalangan umat Islam.
Rasulullah
SAW pernah bersabda yang artinya,
“Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara,
jika telah menimpa kalian, maka tidak ada kebaikan lagi bagi kalian. Dan aku
berlindung kepada Allah, semoga kalian terhindar darinya. Lima perkara itu
ialah (1) Tidak merajalela praktek perzinaan pada suatu kaum sampai mereka
berani berterus-terang melakukannya, melainkan akan terjangkit penyakit menular
dengan cepat, dan mereka akan ditimpa penyakit-penyakit yang belum pernah
menimpa umat-umat yang lalu…..“
Sungguh
mendidik tabiat biologis dan mensucikanya serta mengarahkanya kepada jalan yang
benar merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Sebab,
keselamatan dan kebangkitan umat tergantung padanya.
Oleh karena
itulah kaum Muslimin tidak berselisih pendapat tentang disyariatkannya
pernikahan. Bahkan hukumnya wajib bagi orang yang takut terjebak dalam
kemaksiatan dan kemungkaran, apalagi jika pemahaman agamanya lemah dan
banyaknya godaan.
Tujuan-tujuan pernikahan sebagaimana yang
telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah di atas menunjukkan bahwa
perlunya kematangan dan kesiapan mental bagi yang ingin melaksanakan
pernikahan.
Kematangan
dan persiapan menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan berada pada tataran
yang sangat serius yang tidak hanya memperhatikan aspek biologis akan tetapi
sesuatu yang tidak kalah penting adalah memperhatikan aspek psikologi dan
dengan berdasarkan inilah diduga kuat bahwa pernikahan dimasukkan ke dalam
kategori ibadah.
Demikianlah
penjelasan yang cukup panjang dari kami mengenai makna dan tujuan pernikahan
dalam Islam. Kami harap dengan membaca artikel ini dapat menambah khazanah
pengetahuan para pembaca sekalian, terima kasih..
sumber : www.wajibbaca.com